Blog berisi curhatan si lajang

Rabu, 17 Agustus 2016

Sama Tapi Berbeda


Hari ini adalah hari perayaan Kemerdekaan Bangsa Indonesia sekaligus buat saya dan mama, hari ini adalah hari ke-100 setelah papa meninggalkan kami. Kami setengah bercanda mengatakan, wah hari ke-100 papa dirayakan ramai-ramai nih... We are still a bit sad, but life goes on... Kegiatan tetap sama tapi tentu saja ada perbedaan yaitu papa tidak lagi bersama dengan kami...



Sekalian di hari Kemerdekaan ini, saya mau sharing sesuatu yang menarik perhatian ketika mengikuti ibadah bernuansa etnik di GPIB Koinonia. Sekedar informasi, komplek gereja yang pas di ujung jalan Matraman ini (tapi masih banyak yang gak tahu) adalah gereja pertama di wilayah Timur Batavia, ketika Meester Cornelis membuka kawasan ini sekitar tahun 1881-1918. Saya memang warga jemaat di sana bertahun-tahun bareng orangtua. Tapi baru tahun ini sepertinya diadakan variasi ibadah bernuansa etnik. Mungkin juga dalam rangka menyambut hari kemerdekaan RI, saya gajebo juga (ketauan banyakan bengongnya kalau lagi ibadah di gereja). Indonesia yang terdiri dari banyak suku dan beragam agama tapi bisa bersatu padu. Ibadah antara lain diadakan dengan nuansa Ambon, Flores, Manado dan Batak. Dan yang bikin saya jreng melek dua yang terakhir ini karena diadakan lengkap dengan makanan (halah).




Waktu ibadah dalam nuansa Manado, saya tidak terlalu semangat mengikuti karena mengingatkan pada almarhum papa. Seandainya papa masih ada, dia pasti senang banget melihat ada acara tarian serta makanan dan jajanan khas Manado. Tapi ketika ibadah dalam nuansa Batak, saya tertarik menyimak karena ibu pendeta yang hadir dan kebetulan dari suku Batak juga punya cerita. 

Ceritanya sih mungkin sudah didengar berulang-ulang oleh teman-teman yang suka membaca sejarah dan mencari informasi dari berbagai sumber. Yaitu mengenai Ludwig Ingwer Nommensen, misionaris berkebangsaan Jerman yang menyebarkan agama Kristen di tanah Batak. 

Ternyata Nommensen bukanlah orang pertama yang menginjak tanah Batak dan menyebarkan agama Kristen di sana. Kalau istilah anak sekarang, si bapak Nommensen ini udah keduluan misionaris dari Amerika, Inggris dan juga Belanda. Tapi para misionaris ini tidak bertahan lama karena...mereka di "makan" oleh penduduk setempat. 

Sampai di sini saya berbisik pada mama, pantes ya kalau orang Batak lagi marah dibilangnya kayak lagi makan orang. Ternyata dulu beneran kanibalisme toh? 

Lalu apa yang membuat Nommensen berbeda dari para misionaris lainnya? Ternyata Nommensen terlebih dahulu belajar mengenai adat istiadat Batak bahkan sampai belajar bahasanya. Lah? Jaman dulu sudah ada kamus bahasa Batak rupanya? Kok yang menyusun kamus ini gak berakhir jadi santapan ya, itu di luar yang mau saya ceritakan deh. Anyway Nommensen lebih memilih embrace the culture dan melakukan sedikit perubahan pada kebudayaan setempat. Perubahan bagaimana?

Tarian Tortor
Tarian ini konon dilakukan untuk berkomunikasi dengan dewa-dewa dan roh-roh leluhur, biasanya pas acara selametan. Pastinya yang mengadakan ingin agar diberikan kesehatan, kemakmuran yang baik-baiklah.
Kalau misionaris sebelumnya langsung menganggap tarian ini murtad, melanggar ajaran Kristen, melarang untuk dilakukan bahkan kalau perlu jangan pernah dilakukan lagi. Sementara Nommensen mengubahnya agar makna tarian tersebut bukan ditujukan bagi para dewa-dewa dan roh leluhur melainkan pada Tuhan.

Musik Gondang
Tarian Tortor dan musik gondang tidak bisa dipisahkan. Alat musik yang dipukul itu dianggap oleh para misionaris sebelumnya, kurang lebih ya sama seperti pada tarian Tortor. Alat untuk berkomunikasi dengan roh jahat dan karenanya tidak boleh digunakan dan jangan dilestarikan. 
Sudah pendatang, melarang-larang pulak, begitu deh kurang lebih yang terjadi. Jelas penduduk setempat menjadi marah. 

Ulos
Seperti yang saya kutip dari penjelasan ibu pendeta, pada masa itu ulos ada banyak macamnya. Jadi gak sekedar kain yang digunakan untuk acara-acara pesta. Saat itu ulos juga jadi masalah di mata para misionaris ini karena penduduk setempat menganggapnya sebagai tempat bersemayam para leluhur. Dilarang lagi, diminta untuk dimusnahkan, yah lengkaplah sudah penyebab gagalnya para misionaris sebelum Nommensen.

Tentunya walau sudah beradaptasi dengan kebiasaan penduduk setempat dan mengajarkan perubahan-perubahan bukan berarti usaha mendiang Nommensen berjalan mulus. Tetap ada hambatan, bahkan sering menerima ancaman pembunuhan dari orang-orang yang tidak menyukai dirinya. Ia dianggap sebagai kaki tangan penjajah yang berusaha memasuki tanah Batak yang memang saat itu belum bisa dikuasai oleh Belanda. 

Diambil dari postingan saya di sini


Inti dari cerita ibu pendeta itu adalah, kita harus bersedia berubah untuk kebaikan. Sama seperti kupu-kupu yang berubah dari ulat lewat proses terlebih dahulu menjadi kepompong. Nommensen melihat kebudayaan yang ada dan ia tidak meminta para penduduk untuk melupakan bahkan meniadakan. 

Jadi dengan keberadaan suku dengan berbagai adat istiadat dan bahkan kepercayaan, menjadi satu Indonesia bukan berarti melupakan akar masing-masing. Dan dalam menyambut kemerdekaan ke tahun 71, penduduk pun pastinya bersiap untuk mengubah kebiasaan lama yang kurang baik. Untuk menjadi lebih baik lagi dengan lebih disiplin misalnya. Iya, tauk itu susah. Apalagi kalau orang lain masih melakukan hal yang tidak baik itu dan kita (kita? Kamuuu aja kaleee) suka cenderung mainsteam. Ikut arus...

Ah, jadi ngomong kemana-mana.... Selamat ulang tahun negara RI tercinta... Semoga beristirahat dengan tenang ya Papa... Kami akan selalu mengingat papa, utk ratusan hari berikutnya....

3 komentar:

  1. Merdeka, Mbak! Jadi hari istimewa ya, hari kemerdekaan kemarin, sambil mengenang Papa. *puk pukin Mbak Ria*

    BalasHapus
  2. Baru baca artikel kak RIa yang ini. Banyak sekali dapet ilmu sejarah gereja...saya banyak nggak tau soal beginian. Kebetulan saya juga gereja di GPIB :) dan suami saya juga Tobing. So, this story feels very close to me.
    Sehat selalu buat kak Ria dan Mama.

    BalasHapus
  3. Semoga Papanya mbak Ria mendapat tempat terbaik di Surga..aamiin

    BalasHapus

Thank you for reading and comments.
Comments will be screened first.

Ria's Been Here

Ria Tumimomor’s Travel Map

Ria Tumimomor has been to: France, Germany, Indonesia, Italy, Netherlands, Singapore, South Korea, Switzerland.
Get your own travel map from Matador Network.